Kemudian ia berkata kepada Ja'far bin Abi Thalib dan yang bersamanya, “Pergilah, sesungguhnya kalian aman di negeriku ini. Barangsiapa yang menyakiti kalian maka ia akan merugi. Sekalipun aku diberi gunung emas, aku tidak akan menyakiti salah seorang di antara kalian.”
An-Najasyi, Ash-Hamah bin Abjar, Sang Raja Nan Arif Lagi Bijaksana
“Tatkala raja Najasyi meninggal kami saling menuturkan bahwasanya di atas kuburnya masih terlihat cahaya...” ('Aisyah Ummul Mu'minin)
Tokoh kita kali ini adalah seorang Tabi'in jika ia termasuk dari kalangan Tabi'in, atau ia adalah seorang sahabat jika ia terhitung sebagai seorang sahabat.
Ia telah mengirim surat kepada Rasulullah SAW, sebagaimana Rasulullah juga mengirim surat kepadanya. Ketika ia meninggal Rasulullah SAW melakukan shalat ghaib untuknya, padahal beliau tidak pernah shalat ghoib untuk selainnya. Ia bernama Ash-hamah bin Abjar yang dikenal dengan an-Najasyi.* Marilah kita sejenak mempelajari kepribadian dan kehidupan beliau.
Ayahanda Ash-hamah adalah seorang raja Habasyah yang tidak mempunyai anak lagi selain dia. Sehingga pada suatu saat para pembesar Habasyah berkata, “Sesungguhnya raja kita tidak mempunyai seorang anak kecuali bocah kecil ini, jika raja mati maka ia akan menggantikannya dan memimpin kita sedangkan kita tidak menghendakinya. Bagaimana kalau kita membunuh raja kita yang sekarang dan kita angkat saudaranya menjadi penggantinya, sesungguhnya ia mempunyai dua belas anak yang akan mewarisinya.” Demikianlah syetan terus menerus membisikkan kejahatan kepada mereka sampai akhirnya mereka membunuh sang raja dan kemudian menobatkan saudara laki-lakinya.
Ash-hamah tumbuh berkembang di bawah perlidungan dan pemeliharaan pamannya sampai tampak pada dirinya kecerdasan, semangat yang tinggi, perkataan yang fasih dan kepribadian yang terpuji. Sehingga ia merasa kagum dan mengutamakan Ash-hamah daripada anak-anaknya.
Kemudian kembali syetan membisikkan kejahatan kepada para pembesar Habasyah sehingga di antara mereka ada yang berkata kepada yang lain, “Demi Allah kita takut kalau-kalau nantinya Ash-hamah akan menjadi raja, dan jika terjadi yang demikian maka ia benar-benar akan membalas kematian ayahandanya dan membunuh kita semua.” Maka kemudian mereka mendatangi raja dan berkata, “wahai raja, sesungguhnya hati kita belum bisa tenang kecuali jika engkau membunuh Ash-hamah atau engkau mengusirnya dari hadapan kami. Sekarang ia telah tumbuh dewasa, kami takut ia akan membalas kematian ayahandanya dan membunuh kita semua.” Akan tetapi sang raja berkata kepada mereka, “Kalian memang benar-benar sejelek-jelek manusia! Pada waktu lalu kalian telah membunuh ayahnya, dan hari ini kalian memintaku untuk membunuhnya?! Demi Allah aku tidak akan melakukannya.” Mereka berkata, “Bagaimana kalau kita mengusirnya dari negeri kita.? Maka kemudian sang raja menuruti kemauan mereka dengan rasa enggan dan berat hati.
Tidak lama setelah pengasingan Ash-hamah terjadilah sesuatu yang tidak disangka-sangka. Langit gelap gulita tertutup awan, guntur menggelegar hebat, kilat menyambar sang raja hingga meninggal dunia, maka para pembesar Habasyah memilih salah satu di antara anak-anaknya untuk menjadi raja, akan tetapi mereka tidak menemukan seorangpun yang pantas di antara mereka sehingga mereka khawatir dan gundah. Kekhawatiran itu semakin bertambah tatkala mengetahui bahwasanya negeri tetangga sekitar Habasyah ingin mengambil kesempatan ini untuk menjajah mereka. Maka sebagian mereka berkata, “Demi Allah, sesungguhnya apa yang kita lakukan tidak akan mencapai tujuan kita, tidak ada seorangpun yang mampu menjaga kerajaan kalian selain pemuda yang pernah kita usir. Jika kalian ingin Habasyah tetap aman dan damai, maka carilah ia dan kembalikan ia ke tempat yang seharusnya.” Maka kemudian mereka keluar mencarinya, setelah menemukannya mereka membawanya kembali ke tanah air dan meletakkan tahta di atas kepala Ash-hamah serta membaiatnya menjadi seorang raja. Setelah menjadi raja, Ash-hamah memimpin tanah airnya dengan arif dan bijaksana. Ia menjadikan negerinya kembali tenang dan damai. Dan pada masa kepemimpinannya Habasyah menjadi negeri yang adil dan makmur.
Tidak lama Najasyi menduduki kursi kerajaan, Allah pun mengutus nabi Muhammad SAW dengan membawa agama petunjuk. Banyak di kalangan orang-orang yang diberi petunjuk masuk ke dalam agama Islam satu demi satu. Maka kemudian orang-orang kafir Quraisy melakukan penyiksaan terhadap orang-orang yang masuk Islam, sehingga tatkala kota Makkah terasa sempit bagi mereka dan penindasan serta siksaan semakin menjadi-jadi, baginda Rasulullah SAW berkata kepada mereka, “Sesungguhnya di bumi Habasyah ada seorang raja yang di wilayahnya tidak ada seorangpun yang terdzalimi, pergilah kalian ke sana dan berlindunglah di sisinya sampai Allah menjadikan jalan keluar bagi kalian dan mengeluarkan kalian dari kesempitan ini.”
Kemudian sekelompok sahabat berhijrah ke Habasyah untuk yang pertama kalinya. Mereka berjumlah delapan puluh orang pria dan wanita. Setelah sampai mereka baru merasakan kembali rasa aman dan ketenteraman serta dapat menikmati manisnya ketakwaan dan ibadah tanpa ada seorangpun yang mengganggu ibadah mereka. Akan tetapi setelah orang-orang Quraisy mengetahui kepergian orang-orang muslim, kemudian mengejar mereka ke Habasyah untuk memulangkan mereka ke Makkah.
Orang-orang Quraisy mengutus dua orang pilihan dari mereka yang berpengalaman dan cerdas, yaitu 'Amr bin 'Ash dan Abdullah bin Abi Rabi'ah dengan membawa berbagai macam hadiah yang sangat banyak untuk diberikan kepada raja Najasyi dan para punggawanya. Setelah sampai, mereka langsung menemui para pembesar Habasyah terlebih dahulu sebelum menghadap sang raja, kemudian mereka berdua memberi setiap pembesar itu sejumlah hadiah seraya berkata, “Sesungguhnya ada beberapa orang bodoh dari negeri kami yang menyusup ke negeri kalian. Mereka keluar dari agama nenek moyang mereka dan memecah belah agama kaumnya. Maka apabila kami menghadap raja untuk mengadukan tentang perkara mereka, pengaruhilah sang raja agar mau menyerahklan mereka kepada kami tanpa menanyakan tentang agama mereka. Sesungguhnya kami, para pembesar mereka, lebih tahu tentang keadaan mereka dan tentang apa yang mereka yakini saat ini.”
'Amr bin 'Ash dan Abdullah bin Abi Rabiah masuk menghadap raja dan bersujud menyembahnya seperti kaumnya bersujud. Raja Najasyi menyambut mereka dengan sebaik-baik sambutan. Kemudian mereka menyerahkan kepada sang raja berbagai macam hadiah yang dibawa dari Makkah seraya menyampaikan salam penghormatan dari para pembesar Makkah yang diketuai Abu Sufyan.**
Setelah itu kemudian mereka berkata,
“Wahai raja, sesungguhnya ada beberapa orang bodoh dari negeri kami yang menyusup ke negeri tuan. Mereka telah meninggalkan agama kami akan tetapi tidak masuk ke agama tuan. Mereka datang dengan agama baru yang kami tidak mengetahuinya secara persis dan begitu juga tuan. Kami diutus para pembesar kaum kami untuk menemui tuan, agar tuan berkenan mengembalikan orang-orang ini kepada kami. Karena mereka lebih tahu dengan apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka yakini dari agama baru tersebut.”
Kemudian raja Najasyi memandang ke arah para punggawanya sebagai isyarat meminta pendapat mereka, maka mereka berkata,
“Mereka benar wahai baginda raja, sesungguhnya kita tidak akan tinggal diam dengan agama baru yang mereka ada-adakan, dan sesungguhnya kaum mereka lebih tahu tentang keadaan mereka dan apa yang mereka ada-adakan daripada kita.”
Akan tetapi Najasyi berkata,
“Tidak, Demi Allah aku tidak akan menyerahkan mereka sampai aku mendengar apa yang mereka katakan dan tahu apa yang mereka yakini. Maka jika memang benar mereka dalam kejahatan, aku akan menyerahkan mereka kepada kaumnya. Dan jika mereka ada pada kebaikan, maka aku akan melindungi dan berlaku baik kepada mereka selama mereka berada di wilayahku.” Kemudian ia melanjutkan ucapannya, “Demi Allah, sesungguhnya aku tidak akan melupakan anugerah-Nya kepadaku, sesungguhnya Dia telah mengembalikanku ke negeri asalku dan melindungiku dari tipu daya orang-orang yang tidak suka kepadaku serta menjagaku dari kejahatan mereka.”
Raja Najasyi memanggil orang-orang Islam untuk menghadapnya dan bertemu dengan kaumnya, sehingga mereka merasa takut dan sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Apa yang akan kalian katakan jika ia bertanya tentang agama kalian.?”
Di antara mereka ada yang menjawab, “Kita katakan apa yang difirmankan oleh Allah Azza wa Jalla dalam kitab-Nya, dan kita khabarkan apa yang dibawa nabi kita Rasulullah SAW dari Tuhannya.”
Kemudian mereka pergi menghadap sang raja. Setelah sampai di hadapan raja mereka mendapati di sana ada 'Amr bin 'Ash dan Abdullah bin Abi Rabi'ah serta para punggawa dan pendeta. Kemudian mereka mengucapkan salam kepada raja dengan penghormatan Islam dan langsung duduk. Sedang 'Amr bin 'ash melihat ke arah mereka seraya berkata,
“Mengapa kalian tidak bersujud kepada raja.?”
Mereka menjawab,
“Sesungguhnya kami tidak bersujud kecuali kepada Allah.”
Maka demi mendengar jawaban itu, sang raja merasa kaget kemudian berkata, “Macam apakah agama kalian ini, sehingga karenanya kalian meninggalkan agama kaum kalian dan tidak juga masuk ke dalam agama kami.?”
Kemudian Ja'far bin Ali Thalib sebagai juru bicara kaum muslimin menjawab, “Wahai raja, sesungguhnya kami tidaklah mengada-adakan agama kami, akan tetapi telah datang kepada kami Muhammad bin Abdullah sebagai utusan Tuhannya dengan membawa agama petunjuk dan agama yang haq dan mengeluarkan kami dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Dahulu kami adalah pemeluk agama jahiliyah, kami menyembah berhala, memutuskan tali silaturrahmi, memakan bangkai, gemar berbuat kemaksiatan, menyakiti tetangga, dan yang kuat di antara kami memakan yang lemah. Begitulah gambaran keadaan kami dahulu, hingga Allah mengutus seorang Rasul dari kalangan kami sendiri yang kami tahu nasab, kejujuran, amanah dan kesucian dirinya. Beliau menyeru kami kepada Allah untuk menyembah dan mengEsakan-Nya. Memerintahkan kami menunaikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan menyuruh kami meninggalkan apa yang pernah kami sembah yang berupa batu dan arca. Sebagaimana beliau juga memerintahkan kami untuk berkata jujur, melaksanakan amanah, menyambung silaturahmi, berbuat baik kepada tetangga, menahan diri dari apa-apa yang diharamkan dan menghindari pertumpahan darah. Beliau melarang kami berbuat kemaksiatan, berkata dusta dan memakan harta anak yatim. Lalu kami membenarkannya, mengimani risalahnya dan mengikuti apa yang dibawanya. Kemudian kami menyembah Allah Yang Maha Esa, Yang tiada sekutu bagi-Nya, kami mengharamkan apa yang Dia haramkan atas kami dan kami halalkan apa yang Dia halalkan bagi kami. Akan tetapi setelah itu kaum kami memusuhi kami dan menyiksa kami agar kami kembali kepada agama mereka dan kembali menyembah berhala-berhala setelah kami menyembah Allah Yang Maha Esa. Setelah mereka menekan kami, berbuat semena-mena terhadap kami, mempersempit gerak kami dan menghalangi diri kami dari agama kami, maka kami pun pergi ke negeri tuan dan tinggal di sini. Kami memilih tuan dari pada yang lain dengan harapan agar kami tidak didzalimi di sisi tuan.”
Kemudian Najasyi bertanya,
“Apakah engkau mempunyai sesuatu dari apa yang dibawa oleh rasulmu dari Tuhannya?”
Ja'far bin Abi Thalib menjawab,“Ya”
Najasyi berkata lagi, “Kalau begitu bacakanlah untukku!”
Maka kemudian Ja'far membacakan surat Maryam, dan di antara yang dibacanya ialah firman Allah yang artinya,“Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Al Qur'an, yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur. maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata, ‘esungguhnya aku berlindung daripadamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa.’Ia (Jibril) berkata, ‘esungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.’ Maryam berkata, ‘Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina.!’ Jibril berkata, ‘Demikianlah . Tuhanmu berfirman, ‘Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan.’ Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, ia berkata, ‘Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.’ Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: ‘Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.” (QS.Maryam:16-24)
Maka demi mendengar apa yang dibacakan, raja Najasyi menangis hingga jenggotnya basah oleh air mata, dan demikian juga para pendeta yang ada di majlis tersebut, mereka semua menangis hingga lembaran-lembaran yang mereka bawa basah oleh air mata.
Raja Najasyi melihat kea arah 'Amr bin 'Ash dan kawannya seraya berkata, “Sesungguhnya apa yang telah ia baca dan apa yang dibawa Isa adalah benar-benar keluar dari satu misykat (sumber).”
Kemudian ia berkata kepada keduanya, “Demi Allah, aku sama sekali tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian.”
Kemudian ia bangkit pergi dan diikuti oleh orang-orang yang bersamanya.
'Amr bin 'Ash keluar dalam keadaan murka, kemudian berkata kepada kawannya, “Demi Allah besok aku akan menemui Najasyi kembali, dan aku akan mengabarkan kepadanya tentang mereka yang akan membuat mereka musnah.”
Maka kawannya yang lebih sabar dan lebih murah hati berkata, “Janganlah engkau lakukan itu wahai 'Amr. Sesungguhnya mereka adalah saudara kita meskipun mereka telah menyelisihi kita.”
Akan tetapi 'Amr tetap bersikeras dan berkata kepada kawannya, “Demi Allah, aku akan katakan kepada raja bahwasanya mereka telah mengatakan sesuatu tentang Isa bin Maryam dan menyembunyikan sesuatu yang lain, bahwasanya mereka menganggap Isa adalah seorang hamba.”
Tatkala datang waktu pagi, 'Amr masuk menghadap Najasyi dan berkata, “Wahai raja, sungguh mereka telah mengatakan sesuatu di depanmu, akan tetapi mereka menyembunyikan sesuatu darimu. Sesungguhnya mereka beranggapan bahwasanya Isa bin Maryam hanyalah seorang hamba.”
Maka Najasyi memanggil mereka dan bertanya, “Apa yang kalian katakan tentang Isa bin Maryam?”
Ja'far bin Abi Thalib menjawab, “Kita mengatakan seperti apa yang telah datang dari nabi kita SAW”
Raja bertanya lagi, “Apakah yang ia katakan?”
Ja'far menjawab, “Sesungguhnya Isa adalah hamba Allah, utusan-Nya dan kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam yang masih suci.”
Najasyi kemudian berkata, “Demi Allah, Isa tidaklah keluar dari apa yang kalian katakan sedikitpun.”
Maka setelah mendengar perkataan Najasyi yang terakhir, para pendeta dan yang hadir saling berpandangan dan berbisik antara yang satu dengan yang lain, mereka mengingkari apa yang telah dikatakan oleh Najasyi.
Maka Najasyi memandangi mereka seraya berkata, “Walaupun kalian mengingkarinya.”
Kemudian ia berkata kepada Ja'far bin Abi Thalib dan yang bersamanya, “Pergilah, sesungguhnya kalian aman di negeriku ini. Barangsiapa yang menyakiti kalian maka ia akan merugi. Sekalipun aku diberi gunung emas, aku tidak akan menyakiti salah seorang di antara kalian.”
Dan kemudian berkata kepada para pelayannya, “Kembalikan semua hadiah itu kepada 'Amr dan kawannya karena kita tidaklah membutuhkannya, dan sesungguhnya Allah tidak meminta uang sogokan dariku tatkala Dia mengembalikan kerajaan ini kepadaku, sehingga aku perlu mengambil uang sogokan setelah mendapatkan kekuasaan ini. Dan orang-orang tidak perlu patuh karena aku, sehingga akupun harus patuh karenanya.”
Setelah kejadian itu, para pendeta kemudian mengumumkan kepada semua orang bahwasanya sang raja telah meninggalkan agamanya dan masuk agama lain. Mereka mengajak masyarakat agar menurunkan sang raja dari tahta, sehingga mereka mendirikan perkumpulan kemudian memutuskan untuk menurunkan Najasyi dari tahta kerajaan. Setelah raja mendengar demikian, ia menulis surat kepada Ja'far dan para sahabatnya menghabarkan tentang hal ini, kemudian menyiapkan sebuah perahu bagi mereka dan berkata, “Naiklah kalian dan bersiaplah terhadap apa yang akan terjadi, jika aku kalah maka pergilah ke tempat yang kalian inginkan dan jika aku menang maka tetaplah di tempat kalian berada.” Kemudian ia mengambil sehelai kertas dari kulit rusa dan menuliskan di atasnya, “Aku bersaksi bahwasanya tiada Ilah yang patut disembah selain Allah, dan aku bersaksi pula bahwasanya Muhammad adalah hamba dan Rasul terakhir-Nya. Aku juga bersaksi bahwasanya Isa adalah hamba dan rasul-Nya, ruh dan kalimat-Nya yang ia tiupkan kepada Maryam.”
Kemudian ia menggantungkan sehelai kertas tersebut di atas dadanya dan memakai Qiba-nya*** kemudian pergi menemui rakyatnya. Tatkala sampai di depan mereka ia menyeru dan berkata, “Wahai rakyat Habasyah, apa yang kalian lihat pada diriku?”
Mereka menjawab, “Engkau adalah raja yang bijaksana.”
Raja bertanya lagi, “Maka apakah yang kalian tidak suka dariku.?”
Mereka menjawab, “Sungguh engkau telah meninggalkan agama kami dan mengatakan bahwasanya Isa adalah seorang hamba.”
Najasyi berkata, “Apa yang kalian katakan tentang Isa?”
Mereka menjawab, “Ia adalah anak Allah.”
Maka kemudian Najasyi meletakkan tangannya di atas sehelai kertas yang tergantung di dadanya seraya berkata, “Dan aku bersaksi bahwasanya Isa tidaklah lebih dari sesuatu ini.” (Yang dia maksud adalah apa yang tertulis di kertas tersebut). Maka mereka gembira dan pergi meninggalkan raja dalam keadaan ridha.
Nabi SAW mendengar apa yang terjadi antara Najasyi dan rakyatnya, dan tentang perlindungannya terhadap orang-orang Islam yang berhijrah ke negerinya sehingga mereka merasa aman dan tentram. Beliau merasa gembira terhadap kabar tentang kecondonganya kepada Islam dan keyakinannya terhadap kebenaran al-Qur'an. Kemudian hubungan antara Najasyi dan Nabi SAW semakin baik dan erat.
Pada bulan pertama tahun ke-7 H, Rasulullah SAW berkeinginan keras untuk mendakwahi enam raja terbesar di dunia agar masuk ke dalam agama Islam. Maka beliau menulis surat kepada mereka. Melalui surat tersebut, beliau mengajak mereka masuk Islam dan beriman kepada Allah serta memperingatkan mereka dari kekufuran dan kesyirikan. Dan untuk menyampaikan maksudnya ini, beliau telah menyiapkan enam sahabat pilihan, maka setiap dari mereka mempelajari bahasa Negara yang akan ia datangi, kemudian mereka keluar untuk menunaikan amanat ini pada hari yang sama. Dan 'Amr bin Umayyah adh-Dhumari adalah sahabat yang diutus ke raja Habasyah.
'Amr bin Umayyah masuk menghadap raja Najasyi dan memberikan salam penghormatan Islam, maka Najasyi menjawab salamnya dengan yang lebih baik dan menyambutnya dengan sebaik-baik sambutan. Kemudian 'Amr memberikan surat kepada Najasyi yang dititipkan oleh Rasulullah SAW. Ia langsung membuka surat tersebut dan didapatinya bahwasanya Rasulullah mengajaknya masuk Islam, dan menuliskannya sesuatu dari al-Qur'an. Maka kemudian Najasyi menempelkan surat tersebut pada keningnya untuk mengagungkannya, dan ia turun dari singgasananya sebagai bentuk ketundukannya terhadap apa yang datang padanya. Kemudian ia mengumumkan keislamannya di depan para hadirin yang datang pada hari itu, dan ia mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian berkata, “Andai saja bisa, sungguh aku akan pergi menemui Muhammad SAW dan duduk di depannya, kemudian mencium kakinya.” Kemudian ia menulis surat kepada Nabi SAW sebagai jawaban atas ajakannya.
Setelah itu 'Amr bin Umayyah mengeluarkan surat yang ke dua dari Rasulullah SAW yang berisikan agar sang raja sudi menikahkan beliau dengan Ramlah binti Abi Sufyan bin Harb. Ramlah adalah seorang perempuan yang mempunyai kisah sedih pada awalnya, akan tetapi berakhir dengan kegembiraan yang tiada tara. Ia dipanggil Ummu Habibah.
Berikut petikan kisahnya:
Ramlah telah kufur terhadap tuhan-tuhan nenek moyangnya. Ia bersama suaminya, Ubaidillah bin Jahsy masuk Islam dan beriman kepada Allah Yang Maha Esa Yang tiada sekutu bagi-Nya. Ia telah membenarkan risalah yang dibawa nabi Muhammad SAW. Maka kemudian orang-orang Quraisy memaksa mereka berdua agar kembali kepada agama nenek moyang dan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih sampai kemudian tidak mampu lagi tinggal di Makkah. Mereka berdua adalah termasuk orang-orang yang berhijrah ke negeri tempat Najasyi tinggal. Maka mereka mendapatkan perlakuan yang baik dari Najasyi seperti para muhajirin lainnya. Sampai pada suatu saat Allah menguji Ummu Habibah dengan ujian yang sangat berat baginya. Ujian tersebut adalah, bahwasanya suaminya yang bernama Ubaidillah bin Jahsy telah murtad, keluar dari Islam dan kemudian masuk agama nashrani. Kemudian ia hidup bersama para pemuja khamr dan bermabuk-mabukan setiap hari. Dan ia memberi pilihan kepada istrinya antara dua hal yang sama-sama pahit, yaitu antara diceraikan atau masuk nashrani.
Ummu Habibah mendapati dirinya ada pada tiga pilihan: Pertama, ia mengikuti suaminya dan murtad, yang artinya ia memilih kesenangan dunia untuk mendapatkan kepedihan adzab di akhirat. Kedua, ia kembali ke rumah ayahandanya di Makkah yang masih dalam kubangan kesyirikan. Ketiga, ia tetap tinggal di Habasyah bersama anak perempuannya yang masih kecil bernama Habibah tanpa suami di sampingnya. Akan tetapi ia mengutamakan keridhaaan Allah atas segala sesuatunya dan bertekad untuk tetap tinggal di Habasyah sampai Allah memberinya jalan keluar.
Kesedihan Ummu Habibah tidaklah berlangsung lama. Suaminya meninggal dalam keadaan mabuk karena khamr. Kemudian belum juga masa iddahnya selesai, sampai datanglah jalan keluar yang dijanjikan oleh Allah.
Pada suatu pagi hari, ia mendengar pintu rumahnya diketuk, tatkala pintu dibuka ia dikagetkan dengan kedatangan pelayan Najasyi yang bernama Abrahah. Ia mengucapkan salam kepadanya seraya berkata, “Sesungguhnya sang raja menghadiahkan salam untukmu dan berkata, bahwasanya Muhammad Rasulullah melamarmu dan meminta raja untuk mengakadkanmu, maka carilah seseorang yang akan mewakilimu.”
Demi mendengar kabar tersebut, ia diselimuti kegembiraan yang tiada tara kemudian berkata, “Semoga Allah memberimu kabar gembira…semoga Allah memberimu kabar gembira.” Lalu berkata, “Aku menunjuk Khalid bin Sa'id bin al-'Ash sebagai wakilku, karena ia adalah kerabat yang paling dekat denganku di negeri ini.”
Di kerajaan Najasyi telah berkumpul para sahabat yang menetap di Habasyah untuk menghadiri acara akad nikah Ummu Habibah bagi Rasulullah SAW. Maka tatkala para tamu undangan telah hadir semua, raja Najasyi memuji Allah kemudian berkata, “Amma Ba'du, Sesungguhnya Rasulullah SAW telah memintaku untuk menikahkannya dengan Ramlah binti Abi Sufyan, maka aku kabulkan apa yang ia minta. Dan aku sebagai wakil dari Rasulullah menentukan mahar bagi Ramlah sebesar 400 dinar emas sesuai dengan sunnah Allah dan Rasul-Nya.”
Kemudian Kholid bin Sa'id bin 'Ash berdiri, memuji Allah dan memohon pertolongannya lalu berkata, “Amma ba'du, Aku memenuhi permintaan Rasulullah SAW, maka aku nikahkan beliau dengan orang yang mewakilkanku yaitu Ramlah binti Abi Sufyan. Semoga Allah memberkati Rasul-Nya pada istrinya dan berbahagialah bagi Ramlah dengan apa yang telah Allah anugerahkan kepadanya.”
Raja Najasyi menyiapkan dua perahu miliknya, dan dengannya ia mengirim Ummu Habibah, Ramlah binti Abi Sufyan bersama anaknya Habibah beserta para sahabat yang masih tinggal di negerinya. Sebagaimana ia juga mengirim beberapa orang Habasyah yang telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan merindukan bertemu dengan beliau SAW untuk hidup bersama beliau dan shalat di belakangnya. Rombongan tersebut diketuai oleh Ja'far bin Abi Thalib -semoga Allah meridhainya-. Kemudian raja juga menghadiahkan kepada Ramlah Ummil Mu'minin minyak wangi yang paling istimewa yang dimiliki oleh para istrinya. Ia juga mengirimkan hadiah untuk baginda Rasul SAW. Di antaranya, tiga tongkat terbaik kepunyaan Habasyah. Rasulullah SAW mengambil satu, sedangkan dua yang lainnya, beliau hadiahkan kepada Umar bin Khaththab RA dan Ali bin Abi Thalib RA. Dan adalah Bilal RA berjalan di depan Rasulullah dengan tongkat yang ada padanya, dan ia tancapkan di depan beliau jika akan mendirikan shalat. Hal itu ia lakukan jika shalat didirikan di tempat-tempat yang tidak ada bangunan masjidnya yang menunjukkan arah kiblat, begitu juga pada saat safar, shalat 'Ied dan Istisqa’.
Bilal memegang tongkat tersebut sampai pada masa pemerintahan Abi Bakar ash-Shidiq. Dan tatkala kekhilafahan sampai di tangan Umar bin Khaththab dan Utsman bin 'Affan, tongkat tersebut dipegang oleh Sa'ad al-Qurazhi. Setelah itu berpindah dari tangan khalifah ke tangan yang lain beberapa waktu lamanya.
Najasyi juga menghadiahkan kepada Nabi SAW sebuah cincin emas. Beliau tetap menerimanya walaupun pada hakikatnya menolak hal itu, kemudian cincin tersebut ia berikan kepada Umamah, cucu perempuannya dari Zainab, beliau berkata kepadanya, “Pakailah cincin ini wahai putriku.”
Menjelang Fathu Makkah, raja Najasyi dipanggil oleh Allah SWT, maka Rasulullah SAW mengajak para sahabat untuk menshalatinya (secara ghaib). Beliau berkata, “Sesungguhnya saudara kalian Ash-hamah telah meninggal dunia, maka shalatlah kalian atasnya.”
Kemudian Rasulullah SAW mengimami shalat ghaib untuknya, padahal beliau tidak pernah shaat ghaib sebelum ataupun sesudah meninggalnya raja Najasyi.
Semoga Allah meridhai Ash-hamah an-Najasyi, dan semoga ia ridha kepada-Nya. Dan semoga Allah menjadikan surga yang kekal sebagai balasannya.
Sungguh ia telah menguatkan orang-orang Islam dahulu dari kelemahan dan memberikan keamanan dari rasa takut, dan semuanya itu ia lakukan karena mengharap keridhaan Allah dan Rasul-Nya.
CATATAN KAKI:
* Ash-hamah adalah namanya, sedangkan an-Najasyi adalah julukan baginya dan bagi raja-raja Habasyah, seperti halnya Kisra julukan bagi raja Persia dan Kaisar julukan bagi raja Romawi
** Abu Sufyan adalah salah seorang pembesar quraisy pada masa jahiiyah dan setelah masuk Islam
*** Qiba adalah sejenis pakaian luar sperti jaket
0 komentar:
Posting Komentar